BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Alam yang indah dan lestari
adalah suatu dambaan umat manusia. Alam yang indah dan lestari merupakan
jaminan bagi kelangsungan hidup manusia dan segala lapisan kehidupan yang ada
di dalamnya. Namun, kenyataan memperlihatkan bahwa alam sudah banyak mengalami kerusakan,
bahkan sudah berada di ambang kepunahannya, oleh ulah manusia sendiri.
Penyebabnya berawal dari pandangan yang kurang bahkan tidak tepat terhadap
alam, yang memandang alam sebagai sumber kekayaan, yang selalu siap di
eksploitasi kapan dan di mana saja, dan oleh siapa saja, untuk mengambil
hal-hal yang diperlukan dan membiarkan begitu saja hal-hal yang tidak
diperlukan. Untuk menjamin kelangsungan hidup kita dan kelangsungan hidup
generasi yang akan datang, dalam suasana baik dan menyenangkan dan untuk
menjamin kelangsungan berbagai lapisan kehidupan yang ada di alam, maka mau tak
mau kita harus merubah dalam memandang dan memperlakukan alam. Perubahan sikap
ini bukan hanya karena alam begitu penting bagi manusia, melainkan karena alam
dengan berbagai lapisan kehidupan yang ada di dalamnya, memiliki nilai dalam
dirinya sendiri, yang harus dihormati dan dilindungi. Dengan pandangan dan
perlakuan yang semakin baik dan tepat terhadap alam, maka lingkungan semakin
baik dan tepat terhadap alam, maka lingkungan dan pembangunan, dua hal penting
dan sangat mendasar bagi kehidupan manusia, dapat dikembangkan secara
bersamaan, dalam hubungan saling mendukung.
Manusia dan lingkungan hidup (alam)
memiliki hubungan sangat erat. Keduanya saling memberi dan menerima pengaruh
besar satu sama lain. Pengaruh alam terhadap manusia lebih bersifat pasif,
sedangkan pengaruh manusia terhadap alam lebih bersifat aktif. Manusia memiliki
kemampuan eksploitatif terhadap alam sehingga mampu mengubahnya sesuai yang
dikehendakinya. Dan walaupun alam tidak memiliki keinginan
dan kemampuan aktif-eksploitatif
terhadap manusia, namun pelan tapi pasti, apa yang terjadi pada alam, langsung
atau tidak langsung, akan terasa pengaruhnya bagi kehidupan manusia. Lingkungan
yang indah dan lestari akan membawa pengaruh positif bagi kesehatan dan bahkan
keselamatan manusia; sebaliknya, lingkungan yang buruk bagi kehidupan manusia.
Tindakan eksploitatif manipulatif terhadap alam akan mengakibatkan kerusakan
langsung terhadap alam, dan secara tidak langsung hal itu akan berdampak
negatif bagi kehidupan manusia khususnya, dan kehidupan berbagai mahluk lain
pada umumnya. Sebaliknya, apabila manusia menunjukkan kasih sayang yang besar
terhadap alam, dengan memelihara dan melestarikannya, maka alam akan menjamin
kelangsungan hidup manusia dalam suasana nyaman dan menyenangkan.
Membahas
tentang manusia berarti membahas tentang kehidupan sosial dan budayanya,
tentang tatanan nilai-nilai, peradaban, kebudayaan, lingkungan, sumber alam,
dan segala aspek yang menyangkut manusia dan lingkungannya secara menyeluruh.
Manusia
adalah mahluk hidup ciptaan tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang
tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan,
perkembangan, dan mati, dan seterusnya, serta terkait serta berinteraksi dengan
alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik baik itu positis
maupun negatif. Manusia atau
orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah
kebudayaan, atau secara campuran. secara biologis, manusia diklasifikasikan
sebagai homo sapiens (bahasa latin
untuk manusia) sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi
otak berkemampuan tinggi. Manusia juga sebagai mahkluk individu memiliki
pemikiran-pemikiran tentang apa yang menurutnya sesuai ketika tindakan-tindakan
yang ia ambil. dan sebagai makhluk sosial yang saling berhubungan dan
keterkaitannya dengan lingkungan dan tempat tinggalnya.
Etika lingkungan hidup dipahami
sebagai disiplin ilmu yang berbicara mengenai norma dan kaedah moral yang
mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip
moral yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam tersebut.
Etika lingkungan hidup memasukkan semua makhluk selain manusia ke dalam
perhatian moral manusia. Hal ini ditegaskan oleh Albert Schweitzer yang
mengatakan bahwa kesalahan terbesar semua etika-etika sejauh ini hanya
berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan manusia.
Etika lingkungan hidup tidak hanya
berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam. Etika lingkungan hidup juga
berbicara mengenai semua relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu
antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara
manusia dengan mkhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan. Termasuk
di dalamnya berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang mempunyai dampak
langsung atau tidak langsung terhadap alam.
Etika lingkungan hidup menawarkan
cara pandang atau paradigma baru sekaligus perilaku baru terhadap lingkungan
hidup atau alam, yang bisa dianggap sebagai solusi terhadap krisis ekologi.
Pandangan tersebut dibahas dalam tiga model teori etika lingkungan, yaitu
Shallow Enviromental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep
Environmental Ethics. Ketiga teori ini dikenal juga sebagai Antroposentrisme,
Biosentrisme dan Ekosentrisme. Pada tulisan ini akan dipaparkan dijelaskan ketiga model teori etika
lingkungan tersebut, yaitu
Antroposentrisme, Biosentrisme dan Ekosentrisme.
1.2
Tujuan
Untuk mengetahui aliran etika lingkungan, yaitu Shallow Enviromental Ethics (Antroposentrisme), Intermediate Environmental Ethics (Biosentrisme), dan Deep Environmental Ethics (Ekosentrisme).
BAB II
ALIRAN ETIKA LINGKUNGAN : Shallow Enviromental Ethics (Antroposentrisme),
Intermediate Environmental Ethics (Biosentrisme), dan Deep Environmental Ethics (Ekosentrisme)
Lingkungan hidup dapat
didefinisikan dapat didefinisikan sebagai daerah di
mana sesuatu mahluk hidup berada. Keadaan/kondisi yang melingkupi suatu mahluk
hidup. Keseluruhan keadaan yang meliputi suatu mahluk hidup atau sekumpulan
mahluk hidup, terutama:
1.
Kombinasi dari berbagai kondisi fisik di luar mahluk
hidup yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan kemampuan mahluk hidup
untuk bertahan hidup.
2.
Gabungan dari kondisi sosial and budaya yang
berpengaruh pada keadaan suatu individu mahluk hidup atau suatu
perkumpulan/komunitas mahluk hidup.
Istilah
lingkungan dan lingkungan hidup atau lingkungan hidup manusia seringkali
digunakan silih berganti dalam pengertian yang sama. Apabila
lingkungan hidup itu dikaitkan dengan hukum/aturan pengelolaannya, maka batasan
wilayah wewenang pengelolaan dalam lingkungan tersebut harus jelas.
Lingkungan
hidup bagi bangsa Indonesia tidak lain merupakan Wawasan Nusantara, yang
menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis
dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alamiah dan kedudukan dengan
peranan strategis yang tinggi nilainya, tempat bangsa Indonesia
menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam segala aspeknya.
Secara hukum
maka wawasan dalam menyelenggarakan penegakan hukum pengelolaan lingkungan
hidup di Indonesia adalah Wawasan Nusantara. Persetujuan
Internasional Tentang Lingkungan Hidup Indonesia termasuk dalam perjanjian:
Biodiversitas, Perubahan Iklim, Desertifikasi, Spesies yang Terancam, Sampah
Berbahaya, Hukum Laut, Larangan Ujicoba Nuklir, Perlindungan Lapisan Ozon,
Polusi Kapal, Perkayuan Tropis 83, Perkayuan Tropis 94, Dataran basah,
Perubahan Iklim - Protokol Kyoto (UU 17/2004), Perlindungan Kehidupan Laut
(1958) dengan UU 19/19 Masalah Lingkungan Hidup di Indonesia.Bahaya alam:
banjir, kemarau panjang, tsunami, gempa bumi, gunung berapi, kebakaran hutan,
gunung lumpur, tanah longsor.
Kehidupan
manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya, baik
lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Kita bernapas memerlukan udara dari
lingkungan sekitar. Kita makan, minum, menjaga kesehatan, semuanya memerlukan
lingkungan. Pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar
manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun
tidak langsung. Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan
abiotik. Jika kalian berada di sekolah, lingkungan biotiknya berupa teman-teman
sekolah, bapak ibu guru serta karyawan, dan semua orang yang ada di sekolah,
juga berbagai jenis tumbuhan yang ada di kebun sekolah serta hewan-hewan yang
ada di sekitarnya. Adapun lingkungan abiotik berupa udara, meja kursi, papan
tulis, gedung sekolah, dan berbagai macam benda mati yang ada di sekitar.
Seringkali
lingkungan yang terdiri dari sesama manusia yang melipulti pola pola hubungan
sosial serta kaidah pendukung yang berlaku dalam suatu lingkungan disebut juga
sebagai lingkungan sosial budaya. Lingkungan sosial budaya terdiri dari
interaksi antara budaya, teknologi dan organisasi sosial.lingkungan sosial
budaya telah ada sejak manusia diciptakan dan mengalami perubahan sejalan
dengan peningkatan kemampuan adaptasi kultural manusia terhadap lingkungannya.
Terdapat dua
kelompok sistem yang saling berinteraksi dalam lingkungan sosial budaya, yaitu
sosiosistem meliputi teknologi, pola eksploitasi sumber daya, pengetahuan,
ideologi, sistem nilai. Yang kedua adalah ekosistem, meliputi tanah, air,
udara, hewan, tumbuhan, populasi manusia. Interaksi kedua sistem tersebut
melalui proses seleksi dan adaptasi. Serta pertukaran aliran energi, materi dan
informasi.
Interaksi
pada mahkluk hayati terjadi secara netral untuk proses keseimbangan dari
ekosistem tersebut. Sedangkan interaksi sosial pada manusia tidak terjadi
secara netral dan interasi dengan lingkungan cenderung antroposentrik.
Oleh sebab
itu manusia dan lingkungan merupakan suatu kesatuan yang saling berinteraksi
antara satu dengan lainnya, dimana manusia dapat mempengaruhi lingkungan dan
sebaliknya lingkungan dapat mempengaruhi manusia. Karena salah satu unsur dalam
lingkungan hidup adalah manusia, yang merupakan makhluk hidup yang paling
canggih diantara makhluk-makhluk lain, sehingga dapat mengembangkan
kemampuannya dalam pengembangan berbagai bidang yang ada.
Kedudukan
manusia merupakan bagian utama dari suatu lingkungan. Hubungan
manusia dan lingkungan adalah sirkuler, kegiatannya sedikit banyak akan
mengubah lingkungannya yang pada saatnya nanti akan mempengaruhi manusia dan
kemudian akan merambat pada unsur unsur lain. Kelangsungan
hidup manusia bergantung pada kelestarian ekosistemnya.
Manusia pada
awal sejarahnya telah hidup di bumi dalam keselarasan alam yang sangat wajar,
tetapi dalam penguasaan alam pikiran telah memungkinkan manusia untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjaadikannya penguasa mutlak
dalam kehidupan. Dari segi
ekologi hubungan manusia dengan mahkluk hidup lainnya adalah:
1.
Manusia sebagai organisme yang dominan
−
Manusia dapat berkompetisi lebih baik dibandingkan
dengan dengan mahkluk hidup lainnya
−
Manusia mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap
lingkungan hidup ataupun organisme lain.
2.
Manusia sebagai penyebab evolusi
Manusia selalu dapat memperbaiki dan mengembangkan
pengetahuan serta keterlampilan teknis.
3.
Manusia seagai mahkluk pengotor
Hewan (termasuk manusia) sering membuang kotoran
organik (seperti: Fases) yang dapat mencemari lingkungan.
Sikap
dan perilaku seseorang terhadap sesuatu sangat ditentukan oleh bagaimana
pandangannya terhadap sesuatu itu, Kalau sesuatu hal dipandang sebagai berguna
dan penting, maka sikap dan perilaku terhadap sesuatu itu lebih banyak bersifat
menghargai. Sebaliknya jika sesuatu hal dipandang dan dipahami sebagai sesuatu
yangn tidak berguna dan tidak penting, maka sikap dan perilaku yang muncul
lebih banyak bersifat mengabaikan, bahkan merusak.. Manusia memiliki pandangan
tertentu pada alam, dimana pendangan itu telah menjadi landasan bagi tindakan
dan perilaku manusia terhadap alam.
Etika lingkungan hidup hadir
sebagai respon atas etika moral yang selama ini berlaku, yang dirasa lebih
mementingkan hubungan antar manusia dan mengabaikan hubungan antara manusia dan
mahluk hidup bukan manusia. Mahluk bukan manusia, kendati bukan pelaku moral
(moral agents) melainkan dipandang sebagai subyek moral (moral subjects),
sehingga pantas menjadi perhatian moral manusia. Kesalahan terbesar semua etika
sejauh ini adalah etika-etika tersebut hanya berbicara mengenai hubungan antara
manusia dengan manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, etika lingkungan hidup
menuntut adanya perluasan cara pandang dan perilaku moral manusia. Yaitu dengan
memasukkan lingkungan atau alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral.
Berbagai
teori etika lingkungan dapat menjelaskan pola perilaku manusia dalam kaitan
dengan lingkungan. Beberapa teori etika lingkungan ini merupakan perkembangan
pemikiran di bidang etika lingkungan, yaitu Shallow
Environmental Ethic, Intermediate Environmental Ethic, dan Deep Environmental Ethic. Keempat teori
ini dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme, dan
teosentrisme. Ketiga teori ini
mempunyai cara pandang yang berbeda tentang manusia, alam, dan hubungan manusia
dengan alam.
1.
Antroposentrisme
(Shallow Environtmental Ethics)
Antroposentrisme
adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari
sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan
dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan
alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia
dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian.
Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan
perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karena itu, alam
pun dilihat hanya sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak
mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Antroposentrisme
juga dilihat sebagai sebuah teori filsafat yang mengatakan bahwa nilai dan
prinsip moral hanya berlaku bagi manusia, dan bahwa kebutuhan dan kepentingan
manusia mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting. Bagi teori
antroposentrisme, etika hanya berlaku bagi manusia. Maka, segala tuntutan
mengenai perlunya kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap
lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan dan
tidak pada tempatnya. Kalaupun tuntutan seperti itu masuk akal, itu hanya dalam
pengertian tidak langsung, yaitu sebagai pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab
moral manusia terhadap sesama. Maksudnya, kewajiban dan tanggung jawab moral
manusia terhadap lingkungan hidup-kalaupun itu ada-itu semata-mata demi
memenuhi kepentingan sesama manusia. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam
hanya merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama
manusia. Bukan merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia
terhadap alam itu sendiri.
Selain
bersifat antroposentris, etika ini sangat instrumentalistik, dalam pengertian
pola hubungan manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental. Alam
dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai sikap
peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi menjamin kebutuhan hidup
manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri
sehingga pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak
berguna bagi kepentingan manusia, alam akan diabaikan begitu saja. Dalam arti
itu, antroposentrisme juga disebut sebagai etika teleologis karena mendasarkan
pertimbangan moral pada akibat dari tindakan tersebut bagi kepentingan manusia.
Suatu kebijakan dan tindakan yang baik dalam kaitan dengan lingkungan hidup
akan dinilai baik kalau mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingan
manusia. Konservasi, misalnya, hanya dianggap serius sejauh itu bisa dibuktikan
mempunyai dampak menguntungkan bagi kepentingan manusia, khususnya kepentingan ekonomis.
Teori
semacam ini juga bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan kepentingan
manusia. Kepentingan makhluk hidup lain, dan juga alam semesta seluruhnya,
tidak menjadi pertimbangan moral manusia. Kalaupun mendapat pertimbangan moral,
sekali lagi, pertimbangan itu bersifat egoistis: demi kepentingan manusia.
Karena
berciri instrumentalistik dan egoistis, teori ini dianggap sebagai sebuah etika
lingkungan hidup yang dangkal dan sempit (shallow
environmental ethics). Dibandingkan dengan dua teori lain dalam bab-bab
berikut, etika ini terlalu sempit dan dangkal dalam memandang keseluruhan
ekosistem, termasuk manusia dan tempatnya di dalam alam semesta.
Sejauh
ini, teori tersebut dituduh sebagai salah satu penyebab, bahkan penyebab utama,
dari krisis lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Krisis lingkungan hidup
yang kita alami sekarang. Krisis lingkungan hidup dianggap terjadi karena
perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris. Cara pandang
antroposentris ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi
kepentingan dan kebutuhan hidupnya, tanpa cukup memberi perhatian kepada
kelestarian alam. Pola perilaku yang eksploitatif, destruktif dan tidak peduli
terhadap alam tersebut dianggap berakar pada cara pandang yang hanya
mementingkan kepentingan manusia. Cara pandang ini melahirkan sikap dan
perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhannya
dari alam tanpa mempertimbangkan kelestariannya, karena alam dipandang hanya
ada demi kepentingan manusia. Apa saja boleh dilakukan manusia terhadap alam,
sejauh tidak merugikan kepentingan.
Argumen
antroposentrisme yang lain kita temukan pada tradisi Aristotelian sebagaimana
dikembangkan oleh Thomas Aquinas dengan fokus utama pada rantai Kehidupan (the Great Chain of Being). Menurut
argumen ini, semua kehidupan di bumi membentuk dan berada dalam sebuah rantai
kesempurnaan kehidupan, mulai dari yang paling sederhana sampai kepada yang
Maha Sempurna, yaitu Allah sendiri. Dalam rantai kesempurnaan kehidupan tadi,
manusia menempati posisi sebagai yang paling mendekati Maha Sempurna. Itu
berarti, manusia menempati urutan teratas dari rantai ciptaan, sehingga
dianggap lebih superior dari semua ciptaan lainnya, termasuk di antara semua
makhluk hidup lainnya. Argumen ini sesungguhnya menggarisbawahi apa yang telah
dikemukakan oleh Aristoteles dalam bukunya The
Politics. Dalam buku ini, pemikiran antroposentrisme Aristoteles jelas
terlihat dari kutipan ini : “tumbuhan disiapkan untuk kepentingan binatang, dan
binatang disediakan untuk kepentingan manusia.” Jadi, ada semacam
teleologi-rangkaian urutan menuju kesempurnaan, dimana ujung dari kesempurnaan
itu adalah Yang Maha Sempurna, Allah.
Berdasarkan
argumen ini, setiap ciptaan yang lebih rendah dimaksudkan untuk kepentingan
ciptaan yang lebih tinggi. Karena manusia adalah ciptaan yang lebih tinggi dari
semua ciptaan yang lain, ia berhak menggunakan semua ciptaan, termasuk semua
makhluk hidup lainnya, demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannya sebagai
makhluk ciptaan yang lebih tinggi kedudukannya. Manusia boleh memperlakukan
ciptaan yang lebih rendah sesuai dengan kehendaknya dan menggunakan sesuai
dengan keinginannya. Dan itu sah, karena demikianlah kodrat kehidupan dan
tujuan penciptaan. Pada gilirannya, manusia adalah alat dan siap untuk
digunakan sesuai dengan kehendak Allah.
Manusia
lebih tinggi dan terhormat dibanding dengan makhluk ciptaan lain karena manusia
adalah satu-satunya makhluk bebas dan rasional (the free and rational being) sebagaimana dipahami oleh Thomas
Aquinas, Rene Descartes dan Immanuel Kant. Termasuk dalam argumen ini adalah
manusia merupakan satu-satunya makhluk hidup yang mampu menggunakan dan
memahami bahasa, khususnya bahasa simbol, untuk berkomunikasi.
Dalam
argumen ini, manusia dilihat sebagai satu-satunya makhluk hidup yang mampu
menguasai dan menggerakkan aktivitasnya sendiri secara sadar dan bebas. Ia
adalah makhluk berakal budi yang mendekati keilahian Tuhan sekaligus mengambil
bagian dalam keilahian Tuhan. Manusia menentukan apa yang ingin dilakukan dan
memahami mengapa ia melakukan tindakan tertentu. Demikian pula, ia mampu
mengkomunikasikan isi pikirannya dengan sesama manusia melalui bahasa.
Kemampuan-kemampuan ini tidak ditemukan pada binatang dan makhluk lainnya,
sehingga manusia dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada ciptaan yang lain.
Sebagai makhluk yang lebih tinggi, karena bebas dan rasional, Tuhan menciptakan
dan menyediakan segala sesuatu di bumi ini demi kepentingan manusia.
Secara
lebih spesifik lagi, dalam pemikiran Rene Descartes, manusia mempunyai tempat
istimewa di antara semua makhluk hidup, karena manusia mempunyai jiwa yang
memungkinkannya untuk berpikir dan berkomunikasi dengan bahasa. Sebaliknya, binatang
adalah makhluk yang lebih rendah dibandingkan dengan manusia, karena binatang
hanya memiliki tubuh, yang dianggap Descartes sebagai sekadar mesin yang
bergerak secara otomatis. Binatang tidak mempunyai jiwa yang memungkinkannya
bisa bergerak berdasarkan pemikiran atau pengetahuannya sendiri. Binatang lebih
bertindak secara mekanis dan otomatis, seperti halnya jam, seakan telah disetel
oleh Tuhan untuk bergerak secara tertentu.
Sejalan
dengan itu, menurut Immanuel Kant, karena hanya manusia yang merupakan makhluk
rasional, manusia diperbolehkan secara moral untuk menggunakan makhluk non
rasional lainnya untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu mencapai suatu
tatanan dunia yang rasional. Karena makhluk bukan manusia dan semua entitas
alamiah lainnya tidak memiliki akal budi, mereka tidak berhal untuk
diperlakukan secara moral. Maka, manusia tidak mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab moral terhadap makhluk lainnya. Bahkan dalam konteks teori deontologi,
terlihat jelas bahwa bagi Kant hanya manusia yang perlu mendapat perlakuan
moral sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Segala sesuatu yang lain hanya alat
dan sah untuk diperlakukan sebagai alat demi memenuhi tujuan hidup manusia.
Kalaupun manusia mempunyai kewajiban terhadap binatang atau alam semesta,
kewajiban tersebut merupakan kewajiban tidak langsung terhadap manusia yang
lain, bukan terhadap binatang atau alam semesta itu sendiri.
Dengan
ini terlihat jelas bahwa etika-khususnya etika Barat-yang dikenal dalam
masyarakat modern hingga sekarang dibatasi hanya berlaku bagi manusia. Etika
seperti ini sangat antroposentris. Etika ini tidak berlaku bagi makhluk lain di
luar manusia. Oleh karena itu, tidak ada yang salah secara moral pada perilaku
manusia terhadap binatang dan tumbuhan, serta makhluk hidup lainnya, apa pun
perilaku manusia itu. Semua makhluk hidup selain manusia hanya sekadar alat dan
tidak mempunyai nilai dan status moral untuk diperlakukan secara bermoral oleh
manusia. Memberlakukan etika dan moralitas bagi makhluk hidup lain merupakan sebuah
kesalahan kategoris.
Terlepas
dari berbagai kritik terhadap teori antroposentrisme, yang dituding sebagai
sumber krisis ekologi sekarang ini, teori ini dibela dan dipahami secara lebih kritis dari perspektif yang agak
lain, antara lain oleh W.H. Murdy dan F. Frase Darling. Murdy, seorang ahli
botani, mengajukan sebuah argumen antroposentris yang agak lunak. Menurut
Murdy, sesungguhnya setiap spesies ada dan hidup sebagai tujuan pada dirinya
sendiri. Jadi, berbeda dengan Kant yang hanya menganggap manusia sebagai tujuan
pada dirinya sendiri. Jadi, berbeda dengan Kant yang hanya menganggap manusia
sebagai tujuan pada dirinya sendiri, Murdy justru berpendapat bahwa semua
makhluk di dunia ini ada dan hidup sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Atas
dasar itu, adalah hal yang alamiah dan wajar kalau manusia menilai dirinya
lebih tinggi dari spesies atau makhluk lainnya. Begitu pula dengan makhluk
lain, akan menilai dirinya dan spesiesnya lebih tinggi dan lebih berharga
daripada manusia. Tetapi yang menarik, menurut Murdy, demi mencapai tujuannya
itu, manusia mau tidak mau akan menilai tinggi alam semesta beserta seluruh
isinya, karena kelangsungan hidup manusia dan kesejahteraannya sangat
tergantung dari kualitas, keutuhan, dan stabilitas ekosistem seluruhnya,
Dengan
argumen ini, Murdy ingin mengatakan bahwa yang menjadi masalah bukanlah
kecenderungan antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam semesta
untuk kepentingannya. Yang menjadi masalah dan sumber malapetaka krisis
lingkungan hidup adalah tujuan-tujuan tidak pantas dan berlebihan yang dikejar
oleh manusia, di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Akhirnya, dengan
itu manusia bunuh diri. Sejauh manusia menggunakan alam semesta dan seluruh
isinya demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang berguna dan tepat (proper ends), ini dibenarkan secara
moral. Kehidupan dan kesejahteraan manusia bergantung pada alam semesta,
sebagaimana halnya spesies lain di alam semesta juga tergantung dari keberadaan
spesies lain lagi.
Jadi,
menurut Murdy, krisis lingkungan hidup akan disebabkan oleh pendekatan
antroposentris per se, melainkan oleh
pendekatan antroposentris yang berlebihan.
Yang salah bukan pendekatan antroposentris, karena antroposentrisme menegaskan
teori bahwa manusia bukanlah entitas yang terpisah dan bertindak lepas dari
konteks ekologis.
Antroposentrisme
merupakan sebuah teori etika yang cukup kontroversial dan menimbulkan
perdebatan seru di antara banyak filsuf hingga sekarang. Di satu pihak
antroposentrisme dituduh sebagai biang keladi krisis lingkungan hidup hingga
sekarang. Di, pihak lain antroposentrisme juga dibela, pertama, karena
validitas argumennya sulit dibantah, dan karena itu yang salah bukanlah
antroposentrisme itu sendiri, melainkan antroposentrisme yang berlebihan. Kedua,
antroposentrisme menawarkan etika lingkungan hidup yang mempunyai daya tarik
kuat untuk mendorong manusia menjaga lingkungan hidup.
Dalam
kaitan dengan etika lingkungan hidup yang ditawarkannya, ada beberapa kelemahan
yang perlu disinggung di sini. Pertama,
model etika ini mengabaikan masalah-masalah lingkungan hidup yang tidak
langsung menyentuh kepentingan manusia. Maka, manusia, misalnya, akan tetap
membuang limbah ke sungai atau menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
selama tidak ada manusia tertentu yang terkena dampak negatifnya. Kedua, kepentingan manusia selalu
berubah-ubah dan berbeda-beda pula kadarnya. Konsekuensinya, sejauh dipandang
menyangkut kepentingan manusia maka alam akan dipertimbangkan secara serius
dari segi moral. Sebaliknya, sejauh tidak menyangkut kepentingan manusia maka
akan diabaikan.
2.
Biosentrisme
(Intermedite Environtmental Ethics)
Biosentrisme
berasal dari gabungan kata Yunani “bios”
(hidup) dan kata latin “centrum”
(pusat). Secara harfiah, biosentrisme diartikan sebagai suatu keyakinan bahwa
kehidupan manusia erat hubungannya dengan kehidupan seluruh kosmos. Manusia
dipandang sebagai salah satu organisme hidup dari alam semesta yang mempunyai
rasa saling ketergantungan dengan penghuni alam semesta lainnya.
Biosentrisme
merupakan suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mempunyai nilai
dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Dengan demikian
biosentrisme menolak teori antroposentrisme yang menyatakan bahwa hanya
manusialah yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Teori biosentrisme berpandangan
bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia saja. Ada banyak hal dan jenis mahluk
hidup yang memiliki kehidupan. Hanya saja, hal yang rumit dari biosentrisme,
atau yang disebut juga life-centered ethic, terletak pada cara manusia
menanggapi pertanyaan: ”Apakah hidup itu?” . Pandangan biosentrisme mendasarkan
moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau pada mahluk
hidupnya. Karena yang menjadi pusat perhatian dan ingin dibela dalam teori ini
adalah kehidupan, maka secara moral berlaku prisip bahwa setiap kehidupan
dimuka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama, sehingga harus dilindungi dan
diselamatkan. Oleh karena itu, kehidupan setiap mahluk hidup pantas
diperhitungkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan
lepas dari pertimbangan untung rugi bagi kepentingan manusia.
Etika
lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan
sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster.
Menurut Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya
sendiri. Bukan senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup
atau kepentingan untuk hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan
standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang harus
dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul Taylor, karenanya
tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan atau diuntungkan dalam
proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan
bereproduksi.
Biosentrisme
menekankan kewajiban terhadap alam bersumber dari pertimbangan bahwa kehidupan
adalah sesuatu yang bernilai, baik kehidupan manusia maupun spesies lain dimuka
bumi ini. Prinsip atau perintah moral yang berlaku disini dapat dituliskan
sebagai berikut: ”adalah hal yang baik
secara moral bahwa kita mempertahankan dan memacu kehidupan, sebaliknya, buruk
kalau kita menghancurkan kehidupan”.
Biosentrisme
melihat alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai dalam dirinya
sendiri. Alam mempunyai nilai justru karena ada kehidupan yang terkandung
didalamnya. Kewajiban terhadap alam tidak harus dikaitkan dengan kewajiban
terhadap sesama manusia. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam semata-mata
didasarkan pada pertimbangan moral bahwa segala spesies di alam semesta
mempunyai nilai atas dasar bahwa mereka mempunyai kehidupan sendiri, yang harus
dihargai dan dilindungi.
Biosentrisme
memandang manusia sebagai mahluk biologis yang sama dengan mahluk biologis yang
lain. Manusia dilihat sebagai salah satu bagian saja dari keseluruhan kehidupan
yang ada dimuka bumi, dan bukan merupakan pusat dari seluruh alam semesta. Maka
secara biologis manusia tidak ada bedanya dengan mahluk hidup lainnya. Salah
satu tokoh yang menghindari penyamaan begitu saja antara manusia dengan mahluk
hidup lainnya adalah Leopold. Menurut dirinya, manusia tidak memiliki kedudukan
yang sama begitu saja dengan mahluk hidup lainnya. Kelangsungan hidup manusia
mendapat tempat yang penting dalam pertimbangan moral yang serius. Ahanya saja,
dalam rangka menjamin kelangsungan hidupnya, manusia tidak harus melakukannya
dengan cara mengorbankan kelangsungan dan kelestarian komunitas ekologis.
Manusia dapat menggunakan alam untuk kepentingannya, namun dia tetap terikat
tanggung jawab untuk tidak mengorbankan integrity, stability dan beauty dari
mahluk hidup lainnya. unjtuk mengatasi berbagai kritikan atas klaim pertanyaan
antara manusia dengan mahluk biologis lainnya, salah seorang tokoh
biosentrisme, Taylor, membuat pembedaan antara pelaku moral (moral agents) dan
subyek moral (moral subjects). Pelaku moral adalah manusia karena dia memiliki
kemampuan untuk bertindak secara moral, berupa kemampuan akal budi dan
kebebasan. Maka hanya manusialah yang memikul kewajiban dan tanggung jawab
moral atas pilihan-pilihan, dan tindakannya. Sebaliknya, subyek moral adalah mahluk
yang bisa diperlakukan secara baik atau buruk, dan itu berarti menyangkut semua
mahluk hidup, termasuk manusia. Dengan demikian semua pelaku moral adalah juga
subyek moral, namun tidak semua subyek moral adalah pelaku moral, di mana
pelaku moral memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap mereka .
Teori
biosentrisme, yang disebut juga intermediate
environmental ethic, harus dimengerti dengan baik, khususnya menyangkut
kehidupan manusia dan mahluk-mahluk hidup yang lain di bumi ini. Teori ini
memberi bobot dan pertimbangan moral yang sama kepada semua mahluk hidup.
Disini dituntut bahwa alam dan segala kehidupan yang terkandung didalamnya
haruslah masuk dalam pertimbangan dan kepedulian moral. Manusia tidak
mengorbankan kehidupan lainnya begitu saja atas dasar pemahaman bahwa alam dan
segala isinya tidak bernilai dalam dirinya sendiri.
Biosentrisme
mengagungkan nilai kehidupan yang ada pada ciptaan, sehingga komunitas moral
tidak lagi dapat dibatasi hanya pada ruang lingkup manusia. Mencakup alam
sebagai ciptaan sebagai satu kesatuan komunitas hidup (biotic community).
Inti
pemikiran biosentrisme adalah bahwa
setiap ciptaan mempunyai nilai intrinsik dan keberadaannya memiliki relevansi
moral. Setiap ciptaan (makhluk hidup) pantas mendapatkan keprihatinan
dan tanggung jawab moral karena kehidupan merupakan inti pokok dari konsern
moral. Prinsip moral yang berlaku adalah “mempertahankan serta memlihara
kehidupan adalah baik secara moral, sedangkan merusak dan menghancurkan
kehidupan adalah jahat secara moral” (Light, 2003: 109).
Biosentrisme
memiliki tiga varian, yakni the life centered theory (hidup sebagai
pusat), yang dikemukakan oleh Albert Schweizer dan Paul Taylor ; land ethic
(etika bumi), dikemukakan oleh Aldo Leopold ; dan equal treatment
(perlakuan setara), dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel.
a.
The Life Centered Theory
The life
centered theory adalah teori lingkungan yang berpusat pada
lingkungan. Teori yang dikemukakan oleh Albert Schweizer, mengajukan empat
prinsip etis pokok, yaitu : manusia adalah anggota dari komunitas hidup yang
ada di bumi ini, bumi adalah suatu sistem organik dimana manusia dan ciptaan
lain saling berkaitan dan bergantung, setiap ciptaan dipersatukan oleh tujuan
bersama demi kebaikan dan keutuhan keseluruhan, dan menolak superioritas
manusia dihadapan makhluk ciptaan lain (Paul, dalam Light – Holmes Rolston III,
2003: 74-84, BASIS: 12-14).
Semua
makhluk hidup dalam bionsentrisme adalah anggota dari komunitas hidup, dalam
arti bahwa setiap ciptaan berhak diperlakukan dengan baik secara moral. Manusia
sebagai pelaku atau subjek moral harus memperlakukan dengan baik dan tangging
jawab moral terhadap makhluk lainnya.
b. The Land Ethic (Etika Bumi)
The Land
Ethic (etika bumi) Teori etika bumi yang dikemukakan oleh Aldo Leopold menjadi
teori etika lingkungan klasik pada abad ini. Etika bumi menekankan pentingnya
keutuhan ciptaan dan bahwa setiap ciptaan merupakan bagian integral dari
komunitas kehidupan (Light-Holmes III, 2003:39/BASIS:2007:edisi 05-06:12-13).
Bumi dan segala isinya adalah subjek moral yang harus dihargai, tidak hanya
alat dan objek yang bisa dimanfaatkan manusia sesuka hati karena bumi bernilai
pada dirinya sendiri.
Teori etika
bumi menekankan bahwa keutuhan seluruh makhluk ciptaan tidak bertentangan
dengan kepentingan masing-masing ciptaan. Aldo Leopold mengatakakan bahwa tugas
manusia untuk menata dan memelihara sehingga kepentingan manusia sebagai bagian
dari komunitas kehidupan bisa sejalan dan tidak bertentangan dengan kebaikan
seluruh kebaikan komunitas kehidupan. Prinsip moral menurut Leopold adalah
bahwa setiap tindakan akan banar secara moral jika melindungi dan mengupayakan
keutuhan, keindahan, dan stabilitas seluruh komunitas kehidupan (Palmer dalam
Light, 2003:24, BASIS : 12-14). Manusia harus berhenti mengeksploitasi, merusak
makhluk ciptaan lain karena tindakan ini akan merusak keutuhan, stabilitas, keindahan
ciptaan alam.
c. Equal Treatment (perlakuan yang setara)
Equal
treatment (perlakuan setara/sama) Equal treatment dikenal sebagai anti spesiesisme
yang dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel. Anti spesiesme adalah
sikap membela kepentingan dan kelangsungan hidup semua spesies di bumi karena
didasarkan pada mempunyai hak hidup yang sama dan pantas mendapatkan
perlindungan dan perhatian yang sama.
Peter Singer
mendasarkan teorinya kepada prinsip moral perlakuan yang sama dalam
kepentingan. Perlakuan yang sama dalam relasi anta manusia didasarkan pada
pertimbangan bahwa manusia mempunyai kepentingan yang sama. Kesadaran dan
tanggung jawab moral sangat penting terhadap makhluk ciptaan bukan manusia.
Tanggung jawab dan pertimbangan moral berlaku bagi seluruh komunitas kehidupan.
Prinsip moral harus konsisten diterapkan dalam seluruh komunitas kehidupan demi
kebaikan keseluruhan komunitas kehidupan.
Dalam pandangan filsafat timur yang diwakili
hinduisme alam menjadi sesuatu yang makrokosmos, dimana manusia hidup
didalamnya sebagai mikrokosmos. Sedangkan pandangan Konfuisme, mengajak manusia
kembali kepada alam semesta demi memperoleh kebahagiaan. Dalam aliran Zen di
Jepang manusia berusaha mencari keheningan dalam alam dan menyatu dengan
dirinya sendiri.
Dalam pandangan filsafat Islam meletakkan pada etika
/ moral manusia terhadap alam, yakni mengajak manusia hidup dalam keseimbangan
dengan alam dan sebagai makhluk bumi yang diberi mandat oleh Sang Pencipta
untuk tetap memelihara dan menjaga bumi dari segala ancaman. Sikap memelihara
dan menjaga bumi merupakan penerapan tanggung jawab manusia kepada Sang
Pencipta alam dengan segala isinya.
3.
Ekosentrisme
(Deep Environtmental Ethics)
Ekosentrisme
merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme (teori ini
menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada
dirinya sendiri). Sebagai kelanjutan, ekosentrisme sering disamakan begitu saja
dengan biosentrisme, karena adanya banyak kesamaan di antara kedua teori ini.
Kedua teori ini mendobrak cara pandang antroposentrisme (teori etika lingkungan
yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta) yang membatasi
keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan
etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, etika
diperluas iuntuk mencakup komunitas biosentrisme. Sementara pada ekosentrisme
etika diperluas untuk mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Jadi berbeda
dengan biosentrisme yang hanya memusatkan etika pada biosentrisme, pada
kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh
komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak. Secara ekologis, makhluk
hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain.
Salah
satu versi teori ekosentrisme ini adalah teori etika lingkungan yang sekarang
ini populer di kenal sebagai Deep Ecology
(DE). Sebagai istilah, Deep Ecology pertama kali diperkenalkan
oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, pada 1973, di mana prinsip moral yang
dikembangkan adalah menyangkut seluruh komunitas ekologis.
Istilah
Deep Ecology (DE)menuntut suatu etika
baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup
seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Deep Ecology (DE) tidak mengubah sama
sekali hubungan antara manusia dengan manusia. Yang baru dari Deep Ecology (DE) adalah, pertama,
manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala sesuatu yang lain.
Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep
Ecology (DE) justru memusatkan perhatian kepada semua spesies termasuk
spesies bukan manusia. Singkatnya, biosphere seluruhnya. Demikian pula, Deep Ecology (DE) tidak hanya memusatkan
perhatian pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka panjang. Maka, prinsip
moral yang dikembangkan Deep Ecology
(DE) menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologis. Kedua, bahwa etika
lingkungan hidup yang dikembangkan Deep
Ecology (DE) dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah
gerakan. Artinya, prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan
dalam aksi nyata dan konkret. Deep
Ecology (DE) menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan
komprehensif dari sekedar sesuatu yang instrumental dan ekspresionis
sebagaimana ditemukan pada antroposentrisme dan biosentrisme. DE menuntut suatu
pemahaman yang baru tentang relasi etis yang ada dalam semesta ini disertai
adanya prinsip-prinsip baru sejalan dengan relasi etis baru tersebut, yang
kemudian diterjemahkan dalam gerakan atau aksi nyata di lapangan.
Hakekat
pembangunan adalah pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
seluruh Masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa pembangunan mencakup: pertama,
kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, dan lain-lain; kedua,
kemajuan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, rasa keadilan, rasa sehat; dan
ketiga, kemajuan yang meliputi seluruh rakyat sebagaimana tercermin dalam
perbaikan hidup berkeadilan sosial. Karena luasnya ruang lingkup pembangunan,
maka uraian pada bagian ini lebih memberat kepada ekosentrisme dan pembangunan
berwawasan lingkungan (termasuk sumber alam). Jika lingkungan Indonesia
sekarang dibandingkan dengan 30 Tahun yang lalu, secara terasa ada perbedaan
menyolok. Pembangunan telah membawa kemajuan besar. Di samping itu terjadi juga
perubahan lingkungan. 1) Kota dan desa lebih padat dan kotor; 2) mobil dan
sepeda motor lebih banyak dan lebih bising; 3) pohon rindang dan kicauan burung
sudah berkurang; 4) hutan semakin sempit dan gunung-bukit semakin gundul; 5)
tanah kering beralang-alang semakin luas; 6) musim kemarau lebih panas dan
musim hujan lebih banyak banjir sehingga hati terasa senang bercampur cemas.
Hati senang melihat pembangunan membawa kemajuan. Tapi hati cemas melihat
lingkungan hidup terganggu.
Bagaimanakah
menjelaskan perkembangan ini, dan apakah yang bisa diperbuat untuk
mengatasinya? Berbagai gangguan lingkungan hidup ini mempunyai satu ciri sama,
yaitu bahwa manusialah penyebab utama timbulnya bencana ini. Sungai, gunung,
harimau, gajah, ikan dan lain-lain isi lingkungan alam, sudah lama
berkelanjutan (sustainable) tanpa gangguan yang berarti. Namun setelah manusia
muncul mengolah sumber alam tanpa mengendalikan pengaruh negatifnya kepada
lingkungan sehingga merusak alam dan mengusik lingkungan pemukiman binatang
maka alam bereaksi kembali.
Masalah
sekarang ialah, bagaimana menumbuhkan kesadaran lingkungan manusia supaya
pengolahan sumber alam bagi pembangunan dapat dilakukan sejalan dengan
pengembangan lingkungan, bagaimana menyebarluaskan penghayatan dan penglibatan
manusia pada proses pembangunan tanpa kerusakan lingkungan. Dan bagaimana
menumbuhkan di kalangan masyarakat lua penglihatan dan orientasi pembangunan
dengan pengembangan lingkungan. Untuk itu perlu ditelusuri pokok-pokok masalah
lingkungan untuk kemudian menjajaki kemungkinan peran serta masyarakat umum
dalam menanggapi masalah lingkungan ini. Teori ekosentrisme (Deep Ecology (DE)) adalah salah satu
jawaban.
Ada
beberapa prinsip yang dianut oleh Deep
Ecology (DE), antara lain adalah biospheric
egalitarianism – in principle, yaitu pengakuan bahwa semua organisme dan
makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang
terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Pengakuan ini menunjukan adanya
sikap hormat terhadap semua cara dan bentuk kehidupan alam semesta. Ini
menyangkut suatu pengakuan dan penghargaan terhadap “hak yang sama untuk hidup
dan berkembang”, yang tidak hanya berlaku bagi semua makhluk hayati tetapi juga
bagi yang non-hayati.
Dengan
prinsip ini sekaligus mau dikatakan bahwa nilai sebuah benda di alam semesta
ini tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan atau kepentingan manusia. Prinsip
ini mengacu pada pengakuan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini harus
dihargai karena mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Manusia hanya salah satu
bentuk kehidupan yang pada prinsipnya sama kedudukannya dalam tatanan ekologis
dengan semua bentuk kehidupan lain. Bahwa semua bentuk kehidupan mempunyai
keunikan sendiri-sendiri termasuk manusia itu justru memperkaya kehidupan dan
bukan dimaksudkan yang satu lebih tinggi dan bernilai sehingga mendominasi yang
lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Etika
lingkungan hidup tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam.
Etika lingkungan hidup juga berbicara mengenai semua relasi di antara semua
kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai
dampak pada alam dan antara manusia dengan mkhluk hidup lain atau dengan alam
secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya berbagai kebijakan politik dan ekonomi
yang mempunyai dampak langsung atau tidak langsung terhadap alam. Pandangan
tersebut dibahas dalam tiga model teori etika lingkungan, yaitu Shallow
Enviromental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental
Ethics. Ketiga teori ini dikenal juga sebagai Antroposentrisme, Biosentrisme
dan Ekosentrisme.
Manusia bertindak sosial dengan cara memanfaatkan alam dan lingkungan untuk
menyempurnakan serta meningkatkan kesejahteraan hidupnya demi kelangsungan
hidup sejenisnya. Manusia
mempunyai pengaruh penting dalam kelangsungan ekosistem habitat manusia itu sendiri,
tindakan-tindakan yang diambil atau kebijakan-kebijakan tentang hubungan dengan
lingkungan akan berpengaruh bagi lingkungan dan manusia itu sendiri. Kemampuan kita untuk menyadari hal tersebut akan menentukan bagaimana
hubungan kita sebagai manusia dan lingkungan kita. Hal ini memerlukan
pembiasaan diri yang dapat membuat kita menyadari hubungan manusia dengan
lingkungan.
3.2 Saran
Manusia perlu mengambil kebijakan-kebijakan terhadap lingkungan sebagai usaha
untuk memperoleh efisiensi pemanfaatan sumber alam dan lingkungan. Kita sebagai
manusia wajib menyadari bahwa kita
saling terkait dengan lingkungan yang mengitari kita.
Kemampuan kita untuk menyadari hal tersebut akan menentukan bagaimana hubungan kita sebagai manusia dan lingkungan
kita. Hal ini memerlukan pembiasaan diri yang dapat membuat kita menyadari
hubungan manusia dengan lingkungan.
DAFTAR
PUSTAKA
Nurcahyono, Arinto. 2009. Etika Lingkungan Hidup Sebagai Landasan Kebijakan Yang Berpihak Terhadap Kelestarian Lingkungan. http://artnur.wordpress.com/2009/11/12/etika-lingkungan-hidup-sebagai-landasan-kebijakan-yang-berpihak-terhadap-kelestarian-lingkungan/
Sonny, K. 2002. Etika Lingkungan.
Jakarta : Buku Kompas
environmental ethics
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus