Kamis, 28 Maret 2013

ALIRAN ETIKA LINGKUNGAN : SHALLOW ENVIROMENTAL ETHICS (ANTROPOSENTRISME), INTERMEDIATE ENVIRONMENTAL ETHICS (BIOSENTRISME), DAN DEEP ENVIRONMENTAL ETHICS (EKOSENTRISME)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Alam yang indah dan lestari adalah suatu dambaan umat manusia. Alam yang indah dan lestari merupakan jaminan bagi kelangsungan hidup manusia dan segala lapisan kehidupan yang ada di dalamnya. Namun, kenyataan memperlihatkan bahwa alam sudah banyak mengalami kerusakan, bahkan sudah berada di ambang kepunahannya, oleh ulah manusia sendiri. Penyebabnya berawal dari pandangan yang kurang bahkan tidak tepat terhadap alam, yang memandang alam sebagai sumber kekayaan, yang selalu siap di eksploitasi kapan dan di mana saja, dan oleh siapa saja, untuk mengambil hal-hal yang diperlukan dan membiarkan begitu saja hal-hal yang tidak diperlukan. Untuk menjamin kelangsungan hidup kita dan kelangsungan hidup generasi yang akan datang, dalam suasana baik dan menyenangkan dan untuk menjamin kelangsungan berbagai lapisan kehidupan yang ada di alam, maka mau tak mau kita harus merubah dalam memandang dan memperlakukan alam. Perubahan sikap ini bukan hanya karena alam begitu penting bagi manusia, melainkan karena alam dengan berbagai lapisan kehidupan yang ada di dalamnya, memiliki nilai dalam dirinya sendiri, yang harus dihormati dan dilindungi. Dengan pandangan dan perlakuan yang semakin baik dan tepat terhadap alam, maka lingkungan semakin baik dan tepat terhadap alam, maka lingkungan dan pembangunan, dua hal penting dan sangat mendasar bagi kehidupan manusia, dapat dikembangkan secara bersamaan, dalam hubungan saling mendukung.
Manusia dan lingkungan hidup (alam) memiliki hubungan sangat erat. Keduanya saling memberi dan menerima pengaruh besar satu sama lain. Pengaruh alam terhadap manusia lebih bersifat pasif, sedangkan pengaruh manusia terhadap alam lebih bersifat aktif. Manusia memiliki kemampuan eksploitatif terhadap alam sehingga mampu mengubahnya sesuai yang dikehendakinya. Dan walaupun alam tidak memiliki keinginan dan kemampuan aktif-eksploitatif terhadap manusia, namun pelan tapi pasti, apa yang terjadi pada alam, langsung atau tidak langsung, akan terasa pengaruhnya bagi kehidupan manusia. Lingkungan yang indah dan lestari akan membawa pengaruh positif bagi kesehatan dan bahkan keselamatan manusia; sebaliknya, lingkungan yang buruk bagi kehidupan manusia. Tindakan eksploitatif manipulatif terhadap alam akan mengakibatkan kerusakan langsung terhadap alam, dan secara tidak langsung hal itu akan berdampak negatif bagi kehidupan manusia khususnya, dan kehidupan berbagai mahluk lain pada umumnya. Sebaliknya, apabila manusia menunjukkan kasih sayang yang besar terhadap alam, dengan memelihara dan melestarikannya, maka alam akan menjamin kelangsungan hidup manusia dalam suasana nyaman dan menyenangkan.
 Membahas tentang manusia berarti membahas tentang kehidupan sosial dan budayanya, tentang tatanan nilai-nilai, peradaban, kebudayaan, lingkungan, sumber alam, dan segala aspek yang menyangkut manusia dan lingkungannya secara menyeluruh.
Manusia adalah mahluk hidup ciptaan tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, dan mati, dan seterusnya, serta terkait serta berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik baik itu positis maupun negatif. Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai homo sapiens (bahasa latin untuk manusia) sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Manusia juga sebagai mahkluk individu memiliki pemikiran-pemikiran tentang apa yang menurutnya sesuai ketika tindakan-tindakan yang ia ambil. dan sebagai makhluk sosial yang saling berhubungan dan keterkaitannya dengan lingkungan dan tempat tinggalnya.
Etika lingkungan hidup dipahami sebagai disiplin ilmu yang berbicara mengenai norma dan kaedah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam tersebut. Etika lingkungan hidup memasukkan semua makhluk selain manusia ke dalam perhatian moral manusia. Hal ini ditegaskan oleh Albert Schweitzer yang mengatakan bahwa kesalahan terbesar semua etika-etika sejauh ini hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan manusia.
Etika lingkungan hidup tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam. Etika lingkungan hidup juga berbicara mengenai semua relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan mkhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang mempunyai dampak langsung atau tidak langsung terhadap alam.
Etika lingkungan hidup menawarkan cara pandang atau paradigma baru sekaligus perilaku baru terhadap lingkungan hidup atau alam, yang bisa dianggap sebagai solusi terhadap krisis ekologi. Pandangan tersebut dibahas dalam tiga model teori etika lingkungan, yaitu Shallow Enviromental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini dikenal juga sebagai Antroposentrisme, Biosentrisme dan Ekosentrisme. Pada tulisan ini akan dipaparkan dijelaskan ketiga model teori etika lingkungan tersebut, yaitu Antroposentrisme, Biosentrisme dan Ekosentrisme.

1.2         Tujuan
Untuk mengetahui aliran etika lingkungan, yaitu Shallow Enviromental Ethics (Antroposentrisme), Intermediate Environmental Ethics (Biosentrisme), dan Deep Environmental Ethics (Ekosentrisme).

 
BAB II
ALIRAN ETIKA LINGKUNGAN : Shallow Enviromental Ethics (Antroposentrisme), Intermediate Environmental Ethics (Biosentrisme), dan Deep Environmental Ethics (Ekosentrisme)

Lingkungan hidup dapat didefinisikan dapat didefinisikan sebagai daerah di mana sesuatu mahluk hidup berada. Keadaan/kondisi yang melingkupi suatu mahluk hidup. Keseluruhan keadaan yang meliputi suatu mahluk hidup atau sekumpulan mahluk hidup, terutama:
1.      Kombinasi dari berbagai kondisi fisik di luar mahluk hidup yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan kemampuan mahluk hidup untuk bertahan hidup.
2.      Gabungan dari kondisi sosial and budaya yang berpengaruh pada keadaan suatu individu mahluk hidup atau suatu perkumpulan/komunitas mahluk hidup.
Istilah lingkungan dan lingkungan hidup atau lingkungan hidup manusia seringkali digunakan silih berganti dalam pengertian yang sama. Apabila lingkungan hidup itu dikaitkan dengan hukum/aturan pengelolaannya, maka batasan wilayah wewenang pengelolaan dalam lingkungan tersebut harus jelas.
Lingkungan hidup bagi bangsa Indonesia tidak lain merupakan Wawasan Nusantara, yang menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alamiah dan kedudukan dengan peranan strategis yang tinggi nilainya, tempat bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam segala aspeknya.
Secara hukum maka wawasan dalam menyelenggarakan penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah Wawasan Nusantara. Persetujuan Internasional Tentang Lingkungan Hidup Indonesia termasuk dalam perjanjian: Biodiversitas, Perubahan Iklim, Desertifikasi, Spesies yang Terancam, Sampah Berbahaya, Hukum Laut, Larangan Ujicoba Nuklir, Perlindungan Lapisan Ozon, Polusi Kapal, Perkayuan Tropis 83, Perkayuan Tropis 94, Dataran basah, Perubahan Iklim - Protokol Kyoto (UU 17/2004), Perlindungan Kehidupan Laut (1958) dengan UU 19/19 Masalah Lingkungan Hidup di Indonesia.Bahaya alam: banjir, kemarau panjang, tsunami, gempa bumi, gunung berapi, kebakaran hutan, gunung lumpur, tanah longsor.
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Kita bernapas memerlukan udara dari lingkungan sekitar. Kita makan, minum, menjaga kesehatan, semuanya memerlukan lingkungan. Pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Jika kalian berada di sekolah, lingkungan biotiknya berupa teman-teman sekolah, bapak ibu guru serta karyawan, dan semua orang yang ada di sekolah, juga berbagai jenis tumbuhan yang ada di kebun sekolah serta hewan-hewan yang ada di sekitarnya. Adapun lingkungan abiotik berupa udara, meja kursi, papan tulis, gedung sekolah, dan berbagai macam benda mati yang ada di sekitar.
Seringkali lingkungan yang terdiri dari sesama manusia yang melipulti pola pola hubungan sosial serta kaidah pendukung yang berlaku dalam suatu lingkungan disebut juga sebagai lingkungan sosial budaya. Lingkungan sosial budaya terdiri dari interaksi antara budaya, teknologi dan organisasi sosial.lingkungan sosial budaya telah ada sejak manusia diciptakan dan mengalami perubahan sejalan dengan peningkatan kemampuan adaptasi kultural manusia terhadap lingkungannya.
Terdapat dua kelompok sistem yang saling berinteraksi dalam lingkungan sosial budaya, yaitu sosiosistem meliputi teknologi, pola eksploitasi sumber daya, pengetahuan, ideologi, sistem nilai. Yang kedua adalah ekosistem, meliputi tanah, air, udara, hewan, tumbuhan, populasi manusia. Interaksi kedua sistem tersebut melalui proses seleksi dan adaptasi. Serta pertukaran aliran energi, materi dan informasi.
Interaksi pada mahkluk hayati terjadi secara netral untuk proses keseimbangan dari ekosistem tersebut. Sedangkan interaksi sosial pada manusia tidak terjadi secara netral dan interasi dengan lingkungan cenderung antroposentrik.
Oleh sebab itu manusia dan lingkungan merupakan suatu kesatuan yang saling berinteraksi antara satu dengan lainnya, dimana manusia dapat mempengaruhi lingkungan dan sebaliknya lingkungan dapat mempengaruhi manusia. Karena salah satu unsur dalam lingkungan hidup adalah manusia, yang merupakan makhluk hidup yang paling canggih diantara makhluk-makhluk lain, sehingga dapat mengembangkan kemampuannya dalam pengembangan berbagai bidang yang ada.
Kedudukan manusia merupakan bagian utama dari suatu lingkungan. Hubungan manusia dan lingkungan adalah sirkuler, kegiatannya sedikit banyak akan mengubah lingkungannya yang pada saatnya nanti akan mempengaruhi manusia dan kemudian akan merambat pada unsur unsur lain. Kelangsungan hidup manusia bergantung pada kelestarian ekosistemnya.
Manusia pada awal sejarahnya telah hidup di bumi dalam keselarasan alam yang sangat wajar, tetapi dalam penguasaan alam pikiran telah memungkinkan manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjaadikannya penguasa mutlak dalam kehidupan. Dari segi ekologi hubungan manusia dengan mahkluk hidup lainnya adalah:
1.    Manusia sebagai organisme yang dominan
     Manusia dapat berkompetisi lebih baik dibandingkan dengan dengan mahkluk hidup lainnya
     Manusia mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap lingkungan hidup ataupun organisme lain.
2.    Manusia sebagai penyebab evolusi
Manusia selalu dapat memperbaiki dan mengembangkan pengetahuan serta keterlampilan teknis.
3.    Manusia seagai mahkluk pengotor
Hewan (termasuk manusia) sering membuang kotoran organik (seperti: Fases) yang dapat mencemari lingkungan.
Sikap dan perilaku seseorang terhadap sesuatu sangat ditentukan oleh bagaimana pandangannya terhadap sesuatu itu, Kalau sesuatu hal dipandang sebagai berguna dan penting, maka sikap dan perilaku terhadap sesuatu itu lebih banyak bersifat menghargai. Sebaliknya jika sesuatu hal dipandang dan dipahami sebagai sesuatu yangn tidak berguna dan tidak penting, maka sikap dan perilaku yang muncul lebih banyak bersifat mengabaikan, bahkan merusak.. Manusia memiliki pandangan tertentu pada alam, dimana pendangan itu telah menjadi landasan bagi tindakan dan perilaku manusia terhadap alam.
Etika lingkungan hidup hadir sebagai respon atas etika moral yang selama ini berlaku, yang dirasa lebih mementingkan hubungan antar manusia dan mengabaikan hubungan antara manusia dan mahluk hidup bukan manusia. Mahluk bukan manusia, kendati bukan pelaku moral (moral agents) melainkan dipandang sebagai subyek moral (moral subjects), sehingga pantas menjadi perhatian moral manusia. Kesalahan terbesar semua etika sejauh ini adalah etika-etika tersebut hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, etika lingkungan hidup menuntut adanya perluasan cara pandang dan perilaku moral manusia. Yaitu dengan memasukkan lingkungan atau alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral.
Berbagai teori etika lingkungan dapat menjelaskan pola perilaku manusia dalam kaitan dengan lingkungan. Beberapa teori etika lingkungan ini merupakan perkembangan pemikiran di bidang etika lingkungan, yaitu Shallow Environmental Ethic, Intermediate Environmental Ethic, dan Deep Environmental Ethic. Keempat teori ini dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme, dan teosentrisme. Ketiga teori ini mempunyai cara pandang yang berbeda tentang manusia, alam, dan hubungan manusia dengan alam.
1.    Antroposentrisme (Shallow Environtmental Ethics)
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karena itu, alam pun dilihat hanya sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Antroposentrisme juga dilihat sebagai sebuah teori filsafat yang mengatakan bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia, dan bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting. Bagi teori antroposentrisme, etika hanya berlaku bagi manusia. Maka, segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan dan tidak pada tempatnya. Kalaupun tuntutan seperti itu masuk akal, itu hanya dalam pengertian tidak langsung, yaitu sebagai pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap sesama. Maksudnya, kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup-kalaupun itu ada-itu semata-mata demi memenuhi kepentingan sesama manusia. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam hanya merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia. Bukan merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap alam itu sendiri.
Selain bersifat antroposentris, etika ini sangat instrumentalistik, dalam pengertian pola hubungan manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental. Alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai sikap peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi menjamin kebutuhan hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak berguna bagi kepentingan manusia, alam akan diabaikan begitu saja. Dalam arti itu, antroposentrisme juga disebut sebagai etika teleologis karena mendasarkan pertimbangan moral pada akibat dari tindakan tersebut bagi kepentingan manusia. Suatu kebijakan dan tindakan yang baik dalam kaitan dengan lingkungan hidup akan dinilai baik kalau mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingan manusia. Konservasi, misalnya, hanya dianggap serius sejauh itu bisa dibuktikan mempunyai dampak menguntungkan bagi kepentingan manusia, khususnya kepentingan ekonomis.
Teori semacam ini juga bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan kepentingan manusia. Kepentingan makhluk hidup lain, dan juga alam semesta seluruhnya, tidak menjadi pertimbangan moral manusia. Kalaupun mendapat pertimbangan moral, sekali lagi, pertimbangan itu bersifat egoistis: demi kepentingan manusia.
Karena berciri instrumentalistik dan egoistis, teori ini dianggap sebagai sebuah etika lingkungan hidup yang dangkal dan sempit (shallow environmental ethics). Dibandingkan dengan dua teori lain dalam bab-bab berikut, etika ini terlalu sempit dan dangkal dalam memandang keseluruhan ekosistem, termasuk manusia dan tempatnya di dalam alam semesta.
Sejauh ini, teori tersebut dituduh sebagai salah satu penyebab, bahkan penyebab utama, dari krisis lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Krisis lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Krisis lingkungan hidup dianggap terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris. Cara pandang antroposentris ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan  menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya, tanpa cukup memberi perhatian kepada kelestarian alam. Pola perilaku yang eksploitatif, destruktif dan tidak peduli terhadap alam tersebut dianggap berakar pada cara pandang yang hanya mementingkan kepentingan manusia. Cara pandang ini melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhannya dari alam tanpa mempertimbangkan kelestariannya, karena alam dipandang hanya ada demi kepentingan manusia. Apa saja boleh dilakukan manusia terhadap alam, sejauh tidak merugikan kepentingan.
Argumen antroposentrisme yang lain kita temukan pada tradisi Aristotelian sebagaimana dikembangkan oleh Thomas Aquinas dengan fokus utama pada rantai Kehidupan (the Great Chain of Being). Menurut argumen ini, semua kehidupan di bumi membentuk dan berada dalam sebuah rantai kesempurnaan kehidupan, mulai dari yang paling sederhana sampai kepada yang Maha Sempurna, yaitu Allah sendiri. Dalam rantai kesempurnaan kehidupan tadi, manusia menempati posisi sebagai yang paling mendekati Maha Sempurna. Itu berarti, manusia menempati urutan teratas dari rantai ciptaan, sehingga dianggap lebih superior dari semua ciptaan lainnya, termasuk di antara semua makhluk hidup lainnya. Argumen ini sesungguhnya menggarisbawahi apa yang telah dikemukakan oleh Aristoteles dalam bukunya The Politics. Dalam buku ini, pemikiran antroposentrisme Aristoteles jelas terlihat dari kutipan ini : “tumbuhan disiapkan untuk kepentingan binatang, dan binatang disediakan untuk kepentingan manusia.” Jadi, ada semacam teleologi-rangkaian urutan menuju kesempurnaan, dimana ujung dari kesempurnaan itu adalah Yang Maha Sempurna, Allah.
Berdasarkan argumen ini, setiap ciptaan yang lebih rendah dimaksudkan untuk kepentingan ciptaan yang lebih tinggi. Karena manusia adalah ciptaan yang lebih tinggi dari semua ciptaan yang lain, ia berhak menggunakan semua ciptaan, termasuk semua makhluk hidup lainnya, demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannya sebagai makhluk ciptaan yang lebih tinggi kedudukannya. Manusia boleh memperlakukan ciptaan yang lebih rendah sesuai dengan kehendaknya dan menggunakan sesuai dengan keinginannya. Dan itu sah, karena demikianlah kodrat kehidupan dan tujuan penciptaan. Pada gilirannya, manusia adalah alat dan siap untuk digunakan sesuai dengan kehendak Allah.
Manusia lebih tinggi dan terhormat dibanding dengan makhluk ciptaan lain karena manusia adalah satu-satunya makhluk bebas dan rasional (the free and rational being) sebagaimana dipahami oleh Thomas Aquinas, Rene Descartes dan Immanuel Kant. Termasuk dalam argumen ini adalah manusia merupakan satu-satunya makhluk hidup yang mampu menggunakan dan memahami bahasa, khususnya bahasa simbol, untuk berkomunikasi.
Dalam argumen ini, manusia dilihat sebagai satu-satunya makhluk hidup yang mampu menguasai dan menggerakkan aktivitasnya sendiri secara sadar dan bebas. Ia adalah makhluk berakal budi yang mendekati keilahian Tuhan sekaligus mengambil bagian dalam keilahian Tuhan. Manusia menentukan apa yang ingin dilakukan dan memahami mengapa ia melakukan tindakan tertentu. Demikian pula, ia mampu mengkomunikasikan isi pikirannya dengan sesama manusia melalui bahasa. Kemampuan-kemampuan ini tidak ditemukan pada binatang dan makhluk lainnya, sehingga manusia dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada ciptaan yang lain. Sebagai makhluk yang lebih tinggi, karena bebas dan rasional, Tuhan menciptakan dan menyediakan segala sesuatu di bumi ini demi kepentingan manusia.
Secara lebih spesifik lagi, dalam pemikiran Rene Descartes, manusia mempunyai tempat istimewa di antara semua makhluk hidup, karena manusia mempunyai jiwa yang memungkinkannya untuk berpikir dan berkomunikasi dengan bahasa. Sebaliknya, binatang adalah makhluk yang lebih rendah dibandingkan dengan manusia, karena binatang hanya memiliki tubuh, yang dianggap Descartes sebagai sekadar mesin yang bergerak secara otomatis. Binatang tidak mempunyai jiwa yang memungkinkannya bisa bergerak berdasarkan pemikiran atau pengetahuannya sendiri. Binatang lebih bertindak secara mekanis dan otomatis, seperti halnya jam, seakan telah disetel oleh Tuhan untuk bergerak secara tertentu.
Sejalan dengan itu, menurut Immanuel Kant, karena hanya manusia yang merupakan makhluk rasional, manusia diperbolehkan secara moral untuk menggunakan makhluk non rasional lainnya untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu mencapai suatu tatanan dunia yang rasional. Karena makhluk bukan manusia dan semua entitas alamiah lainnya tidak memiliki akal budi, mereka tidak berhal untuk diperlakukan secara moral. Maka, manusia tidak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap makhluk lainnya. Bahkan dalam konteks teori deontologi, terlihat jelas bahwa bagi Kant hanya manusia yang perlu mendapat perlakuan moral sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Segala sesuatu yang lain hanya alat dan sah untuk diperlakukan sebagai alat demi memenuhi tujuan hidup manusia. Kalaupun manusia mempunyai kewajiban terhadap binatang atau alam semesta, kewajiban tersebut merupakan kewajiban tidak langsung terhadap manusia yang lain, bukan terhadap binatang atau alam semesta itu sendiri.
Dengan ini terlihat jelas bahwa etika-khususnya etika Barat-yang dikenal dalam masyarakat modern hingga sekarang dibatasi hanya berlaku bagi manusia. Etika seperti ini sangat antroposentris. Etika ini tidak berlaku bagi makhluk lain di luar manusia. Oleh karena itu, tidak ada yang salah secara moral pada perilaku manusia terhadap binatang dan tumbuhan, serta makhluk hidup lainnya, apa pun perilaku manusia itu. Semua makhluk hidup selain manusia hanya sekadar alat dan tidak mempunyai nilai dan status moral untuk diperlakukan secara bermoral oleh manusia. Memberlakukan etika dan moralitas bagi makhluk hidup lain merupakan sebuah kesalahan kategoris.
Terlepas dari berbagai kritik terhadap teori antroposentrisme, yang dituding sebagai sumber krisis ekologi sekarang ini, teori ini dibela dan dipahami  secara lebih kritis dari perspektif yang agak lain, antara lain oleh W.H. Murdy dan F. Frase Darling. Murdy, seorang ahli botani, mengajukan sebuah argumen antroposentris yang agak lunak. Menurut Murdy, sesungguhnya setiap spesies ada dan hidup sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Jadi, berbeda dengan Kant yang hanya menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Jadi, berbeda dengan Kant yang hanya menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, Murdy justru berpendapat bahwa semua makhluk di dunia ini ada dan hidup sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Atas dasar itu, adalah hal yang alamiah dan wajar kalau manusia menilai dirinya lebih tinggi dari spesies atau makhluk lainnya. Begitu pula dengan makhluk lain, akan menilai dirinya dan spesiesnya lebih tinggi dan lebih berharga daripada manusia. Tetapi yang menarik, menurut Murdy, demi mencapai tujuannya itu, manusia mau tidak mau akan menilai tinggi alam semesta beserta seluruh isinya, karena kelangsungan hidup manusia dan kesejahteraannya sangat tergantung dari kualitas, keutuhan, dan stabilitas ekosistem seluruhnya,
Dengan argumen ini, Murdy ingin mengatakan bahwa yang menjadi masalah bukanlah kecenderungan antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam semesta untuk kepentingannya. Yang menjadi masalah dan sumber malapetaka krisis lingkungan hidup adalah tujuan-tujuan tidak pantas dan berlebihan yang dikejar oleh manusia, di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Akhirnya, dengan itu manusia bunuh diri. Sejauh manusia menggunakan alam semesta dan seluruh isinya demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang berguna dan tepat (proper ends), ini dibenarkan secara moral. Kehidupan dan kesejahteraan manusia bergantung pada alam semesta, sebagaimana halnya spesies lain di alam semesta juga tergantung dari keberadaan spesies lain lagi.
Jadi, menurut Murdy, krisis lingkungan hidup akan disebabkan oleh pendekatan antroposentris per se, melainkan oleh pendekatan antroposentris yang berlebihan. Yang salah bukan pendekatan antroposentris, karena antroposentrisme menegaskan teori bahwa manusia bukanlah entitas yang terpisah dan bertindak lepas dari konteks ekologis.
Antroposentrisme merupakan sebuah teori etika yang cukup kontroversial dan menimbulkan perdebatan seru di antara banyak filsuf hingga sekarang. Di satu pihak antroposentrisme dituduh sebagai biang keladi krisis lingkungan hidup hingga sekarang. Di, pihak lain antroposentrisme juga dibela, pertama, karena validitas argumennya sulit dibantah, dan karena itu yang salah bukanlah antroposentrisme itu sendiri, melainkan antroposentrisme yang berlebihan. Kedua, antroposentrisme menawarkan etika lingkungan hidup yang mempunyai daya tarik kuat untuk mendorong manusia menjaga lingkungan hidup.
Dalam kaitan dengan etika lingkungan hidup yang ditawarkannya, ada beberapa kelemahan yang perlu disinggung di sini. Pertama, model etika ini mengabaikan masalah-masalah lingkungan hidup yang tidak langsung menyentuh kepentingan manusia. Maka, manusia, misalnya, akan tetap membuang limbah ke sungai atau menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tidak ada manusia tertentu yang terkena dampak negatifnya. Kedua, kepentingan manusia selalu berubah-ubah dan berbeda-beda pula kadarnya. Konsekuensinya, sejauh dipandang menyangkut kepentingan manusia maka alam akan dipertimbangkan secara serius dari segi moral. Sebaliknya, sejauh tidak menyangkut kepentingan manusia maka akan diabaikan.
 
2.    Biosentrisme (Intermedite Environtmental Ethics)
Biosentrisme berasal dari gabungan kata Yunani “bios” (hidup) dan kata latin “centrum” (pusat). Secara harfiah, biosentrisme diartikan sebagai suatu keyakinan bahwa kehidupan manusia erat hubungannya dengan kehidupan seluruh kosmos. Manusia dipandang sebagai salah satu organisme hidup dari alam semesta yang mempunyai rasa saling ketergantungan dengan penghuni alam semesta lainnya.
Biosentrisme merupakan suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Dengan demikian biosentrisme menolak teori antroposentrisme yang menyatakan bahwa hanya manusialah yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Teori biosentrisme berpandangan bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia saja. Ada banyak hal dan jenis mahluk hidup yang memiliki kehidupan. Hanya saja, hal yang rumit dari biosentrisme, atau yang disebut juga life-centered ethic, terletak pada cara manusia menanggapi pertanyaan: ”Apakah hidup itu?” . Pandangan biosentrisme mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau pada mahluk hidupnya. Karena yang menjadi pusat perhatian dan ingin dibela dalam teori ini adalah kehidupan, maka secara moral berlaku prisip bahwa setiap kehidupan dimuka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Oleh karena itu, kehidupan setiap mahluk hidup pantas diperhitungkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari pertimbangan untung rugi bagi kepentingan manusia.
Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Menurut Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup atau kepentingan untuk hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan atau diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.
Biosentrisme menekankan kewajiban terhadap alam bersumber dari pertimbangan bahwa kehidupan adalah sesuatu yang bernilai, baik kehidupan manusia maupun spesies lain dimuka bumi ini. Prinsip atau perintah moral yang berlaku disini dapat dituliskan sebagai berikut: ”adalah hal yang baik secara moral bahwa kita mempertahankan dan memacu kehidupan, sebaliknya, buruk kalau kita menghancurkan kehidupan”.
Biosentrisme melihat alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai dalam dirinya sendiri. Alam mempunyai nilai justru karena ada kehidupan yang terkandung didalamnya. Kewajiban terhadap alam tidak harus dikaitkan dengan kewajiban terhadap sesama manusia. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam semata-mata didasarkan pada pertimbangan moral bahwa segala spesies di alam semesta mempunyai nilai atas dasar bahwa mereka mempunyai kehidupan sendiri, yang harus dihargai dan dilindungi.
Biosentrisme memandang manusia sebagai mahluk biologis yang sama dengan mahluk biologis yang lain. Manusia dilihat sebagai salah satu bagian saja dari keseluruhan kehidupan yang ada dimuka bumi, dan bukan merupakan pusat dari seluruh alam semesta. Maka secara biologis manusia tidak ada bedanya dengan mahluk hidup lainnya. Salah satu tokoh yang menghindari penyamaan begitu saja antara manusia dengan mahluk hidup lainnya adalah Leopold. Menurut dirinya, manusia tidak memiliki kedudukan yang sama begitu saja dengan mahluk hidup lainnya. Kelangsungan hidup manusia mendapat tempat yang penting dalam pertimbangan moral yang serius. Ahanya saja, dalam rangka menjamin kelangsungan hidupnya, manusia tidak harus melakukannya dengan cara mengorbankan kelangsungan dan kelestarian komunitas ekologis. Manusia dapat menggunakan alam untuk kepentingannya, namun dia tetap terikat tanggung jawab untuk tidak mengorbankan integrity, stability dan beauty dari mahluk hidup lainnya. unjtuk mengatasi berbagai kritikan atas klaim pertanyaan antara manusia dengan mahluk biologis lainnya, salah seorang tokoh biosentrisme, Taylor, membuat pembedaan antara pelaku moral (moral agents) dan subyek moral (moral subjects). Pelaku moral adalah manusia karena dia memiliki kemampuan untuk bertindak secara moral, berupa kemampuan akal budi dan kebebasan. Maka hanya manusialah yang memikul kewajiban dan tanggung jawab moral atas pilihan-pilihan, dan tindakannya. Sebaliknya, subyek moral adalah mahluk yang bisa diperlakukan secara baik atau buruk, dan itu berarti menyangkut semua mahluk hidup, termasuk manusia. Dengan demikian semua pelaku moral adalah juga subyek moral, namun tidak semua subyek moral adalah pelaku moral, di mana pelaku moral memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap mereka .
Teori biosentrisme, yang disebut juga intermediate environmental ethic, harus dimengerti dengan baik, khususnya menyangkut kehidupan manusia dan mahluk-mahluk hidup yang lain di bumi ini. Teori ini memberi bobot dan pertimbangan moral yang sama kepada semua mahluk hidup. Disini dituntut bahwa alam dan segala kehidupan yang terkandung didalamnya haruslah masuk dalam pertimbangan dan kepedulian moral. Manusia tidak mengorbankan kehidupan lainnya begitu saja atas dasar pemahaman bahwa alam dan segala isinya tidak bernilai dalam dirinya sendiri.
Biosentrisme mengagungkan nilai kehidupan yang ada pada ciptaan, sehingga komunitas moral tidak lagi dapat dibatasi hanya pada ruang lingkup manusia. Mencakup alam sebagai ciptaan sebagai satu kesatuan komunitas hidup (biotic community).
Inti pemikiran biosentrisme adalah bahwa setiap ciptaan mempunyai nilai intrinsik dan keberadaannya memiliki relevansi moral. Setiap ciptaan (makhluk hidup) pantas mendapatkan keprihatinan dan tanggung jawab moral karena kehidupan merupakan inti pokok dari konsern moral. Prinsip moral yang berlaku adalah “mempertahankan serta memlihara kehidupan adalah baik secara moral, sedangkan merusak dan menghancurkan kehidupan adalah jahat secara moral” (Light, 2003: 109).
Biosentrisme memiliki tiga varian, yakni the life centered theory (hidup sebagai pusat), yang dikemukakan oleh Albert Schweizer dan Paul Taylor ; land ethic (etika bumi), dikemukakan oleh Aldo Leopold ; dan equal treatment (perlakuan setara), dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel.
a.    The Life Centered Theory
The life centered theory adalah teori lingkungan yang berpusat pada lingkungan. Teori yang dikemukakan oleh Albert Schweizer, mengajukan empat prinsip etis pokok, yaitu : manusia adalah anggota dari komunitas hidup yang ada di bumi ini, bumi adalah suatu sistem organik dimana manusia dan ciptaan lain saling berkaitan dan bergantung, setiap ciptaan dipersatukan oleh tujuan bersama demi kebaikan dan keutuhan keseluruhan, dan menolak superioritas manusia dihadapan makhluk ciptaan lain (Paul, dalam Light – Holmes Rolston III, 2003: 74-84, BASIS: 12-14).
Semua makhluk hidup dalam bionsentrisme adalah anggota dari komunitas hidup, dalam arti bahwa setiap ciptaan berhak diperlakukan dengan baik secara moral. Manusia sebagai pelaku atau subjek moral harus memperlakukan dengan baik dan tangging jawab moral terhadap makhluk lainnya.
b.    The Land Ethic (Etika Bumi)
The Land Ethic (etika bumi) Teori etika bumi yang dikemukakan oleh Aldo Leopold menjadi teori etika lingkungan klasik pada abad ini. Etika bumi menekankan pentingnya keutuhan ciptaan dan bahwa setiap ciptaan merupakan bagian integral dari komunitas kehidupan (Light-Holmes III, 2003:39/BASIS:2007:edisi 05-06:12-13). Bumi dan segala isinya adalah subjek moral yang harus dihargai, tidak hanya alat dan objek yang bisa dimanfaatkan manusia sesuka hati karena bumi bernilai pada dirinya sendiri.
Teori etika bumi menekankan bahwa keutuhan seluruh makhluk ciptaan tidak bertentangan dengan kepentingan masing-masing ciptaan. Aldo Leopold mengatakakan bahwa tugas manusia untuk menata dan memelihara sehingga kepentingan manusia sebagai bagian dari komunitas kehidupan bisa sejalan dan tidak bertentangan dengan kebaikan seluruh kebaikan komunitas kehidupan. Prinsip moral menurut Leopold adalah bahwa setiap tindakan akan banar secara moral jika melindungi dan mengupayakan keutuhan, keindahan, dan stabilitas seluruh komunitas kehidupan (Palmer dalam Light, 2003:24, BASIS : 12-14). Manusia harus berhenti mengeksploitasi, merusak makhluk ciptaan lain karena tindakan ini akan merusak keutuhan, stabilitas, keindahan ciptaan alam.
c.    Equal Treatment (perlakuan yang setara)
Equal treatment (perlakuan setara/sama) Equal treatment dikenal sebagai anti spesiesisme yang dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel. Anti spesiesme adalah sikap membela kepentingan dan kelangsungan hidup semua spesies di bumi karena didasarkan pada mempunyai hak hidup yang sama dan pantas mendapatkan perlindungan dan perhatian yang sama.
Peter Singer mendasarkan teorinya kepada prinsip moral perlakuan yang sama dalam kepentingan. Perlakuan yang sama dalam relasi anta manusia didasarkan pada pertimbangan bahwa manusia mempunyai kepentingan yang sama. Kesadaran dan tanggung jawab moral sangat penting terhadap makhluk ciptaan bukan manusia. Tanggung jawab dan pertimbangan moral berlaku bagi seluruh komunitas kehidupan. Prinsip moral harus konsisten diterapkan dalam seluruh komunitas kehidupan demi kebaikan keseluruhan komunitas kehidupan.
Dalam pandangan filsafat timur yang diwakili hinduisme alam menjadi sesuatu yang makrokosmos, dimana manusia hidup didalamnya sebagai mikrokosmos. Sedangkan pandangan Konfuisme, mengajak manusia kembali kepada alam semesta demi memperoleh kebahagiaan. Dalam aliran Zen di Jepang manusia berusaha mencari keheningan dalam alam dan menyatu dengan dirinya sendiri.
Dalam pandangan filsafat Islam meletakkan pada etika / moral manusia terhadap alam, yakni mengajak manusia hidup dalam keseimbangan dengan alam dan sebagai makhluk bumi yang diberi mandat oleh Sang Pencipta untuk tetap memelihara dan menjaga bumi dari segala ancaman. Sikap memelihara dan menjaga bumi merupakan penerapan tanggung jawab manusia kepada Sang Pencipta alam dengan segala isinya.
 
3.        Ekosentrisme (Deep Environtmental Ethics)
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme (teori ini menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri). Sebagai kelanjutan, ekosentrisme sering disamakan begitu saja dengan biosentrisme, karena adanya banyak kesamaan di antara kedua teori ini. Kedua teori ini mendobrak cara pandang antroposentrisme (teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta) yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, etika diperluas iuntuk mencakup komunitas biosentrisme. Sementara pada ekosentrisme etika diperluas untuk mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Jadi berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain.
Salah satu versi teori ekosentrisme ini adalah teori etika lingkungan yang sekarang ini populer di kenal sebagai Deep Ecology (DE). Sebagai istilah, Deep Ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, pada 1973, di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut seluruh komunitas ekologis.
Istilah Deep Ecology (DE)menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Deep Ecology (DE) tidak mengubah sama sekali hubungan antara manusia dengan manusia. Yang baru dari Deep Ecology (DE) adalah, pertama, manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala sesuatu yang lain. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep Ecology (DE) justru memusatkan perhatian kepada semua spesies termasuk spesies bukan manusia. Singkatnya, biosphere seluruhnya. Demikian pula, Deep Ecology (DE) tidak hanya memusatkan perhatian pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka panjang. Maka, prinsip moral yang dikembangkan Deep Ecology (DE) menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologis. Kedua, bahwa etika lingkungan hidup yang dikembangkan Deep Ecology (DE) dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya, prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Deep Ecology (DE) menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekedar sesuatu yang instrumental dan ekspresionis sebagaimana ditemukan pada antroposentrisme dan biosentrisme. DE menuntut suatu pemahaman yang baru tentang relasi etis yang ada dalam semesta ini disertai adanya prinsip-prinsip baru sejalan dengan relasi etis baru tersebut, yang kemudian diterjemahkan dalam gerakan atau aksi nyata di lapangan.
Hakekat pembangunan adalah pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh Masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa pembangunan mencakup: pertama, kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, dan lain-lain; kedua, kemajuan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, rasa keadilan, rasa sehat; dan ketiga, kemajuan yang meliputi seluruh rakyat sebagaimana tercermin dalam perbaikan hidup berkeadilan sosial. Karena luasnya ruang lingkup pembangunan, maka uraian pada bagian ini lebih memberat kepada ekosentrisme dan pembangunan berwawasan lingkungan (termasuk sumber alam). Jika lingkungan Indonesia sekarang dibandingkan dengan 30 Tahun yang lalu, secara terasa ada perbedaan menyolok. Pembangunan telah membawa kemajuan besar. Di samping itu terjadi juga perubahan lingkungan. 1) Kota dan desa lebih padat dan kotor; 2) mobil dan sepeda motor lebih banyak dan lebih bising; 3) pohon rindang dan kicauan burung sudah berkurang; 4) hutan semakin sempit dan gunung-bukit semakin gundul; 5) tanah kering beralang-alang semakin luas; 6) musim kemarau lebih panas dan musim hujan lebih banyak banjir sehingga hati terasa senang bercampur cemas. Hati senang melihat pembangunan membawa kemajuan. Tapi hati cemas melihat lingkungan hidup terganggu.
Bagaimanakah menjelaskan perkembangan ini, dan apakah yang bisa diperbuat untuk mengatasinya? Berbagai gangguan lingkungan hidup ini mempunyai satu ciri sama, yaitu bahwa manusialah penyebab utama timbulnya bencana ini. Sungai, gunung, harimau, gajah, ikan dan lain-lain isi lingkungan alam, sudah lama berkelanjutan (sustainable) tanpa gangguan yang berarti. Namun setelah manusia muncul mengolah sumber alam tanpa mengendalikan pengaruh negatifnya kepada lingkungan sehingga merusak alam dan mengusik lingkungan pemukiman binatang maka alam bereaksi kembali.
Masalah sekarang ialah, bagaimana menumbuhkan kesadaran lingkungan manusia supaya pengolahan sumber alam bagi pembangunan dapat dilakukan sejalan dengan pengembangan lingkungan, bagaimana menyebarluaskan penghayatan dan penglibatan manusia pada proses pembangunan tanpa kerusakan lingkungan. Dan bagaimana menumbuhkan di kalangan masyarakat lua penglihatan dan orientasi pembangunan dengan pengembangan lingkungan. Untuk itu perlu ditelusuri pokok-pokok masalah lingkungan untuk kemudian menjajaki kemungkinan peran serta masyarakat umum dalam menanggapi masalah lingkungan ini. Teori ekosentrisme (Deep Ecology (DE)) adalah salah satu jawaban.
Ada beberapa prinsip yang dianut oleh Deep Ecology (DE), antara lain adalah biospheric egalitarianism – in principle, yaitu pengakuan bahwa semua organisme dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Pengakuan ini menunjukan adanya sikap hormat terhadap semua cara dan bentuk kehidupan alam semesta. Ini menyangkut suatu pengakuan dan penghargaan terhadap “hak yang sama untuk hidup dan berkembang”, yang tidak hanya berlaku bagi semua makhluk hayati tetapi juga bagi yang non-hayati.
Dengan prinsip ini sekaligus mau dikatakan bahwa nilai sebuah benda di alam semesta ini tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan atau kepentingan manusia. Prinsip ini mengacu pada pengakuan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini harus dihargai karena mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Manusia hanya salah satu bentuk kehidupan yang pada prinsipnya sama kedudukannya dalam tatanan ekologis dengan semua bentuk kehidupan lain. Bahwa semua bentuk kehidupan mempunyai keunikan sendiri-sendiri termasuk manusia itu justru memperkaya kehidupan dan bukan dimaksudkan yang satu lebih tinggi dan bernilai sehingga mendominasi yang lain.
 
BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Etika lingkungan hidup tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam. Etika lingkungan hidup juga berbicara mengenai semua relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan mkhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang mempunyai dampak langsung atau tidak langsung terhadap alam. Pandangan tersebut dibahas dalam tiga model teori etika lingkungan, yaitu Shallow Enviromental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini dikenal juga sebagai Antroposentrisme, Biosentrisme dan Ekosentrisme.
Manusia bertindak sosial dengan cara memanfaatkan alam dan lingkungan untuk menyempurnakan serta meningkatkan kesejahteraan hidupnya demi kelangsungan hidup sejenisnya. Manusia mempunyai pengaruh penting dalam kelangsungan ekosistem habitat manusia itu sendiri, tindakan-tindakan yang diambil atau kebijakan-kebijakan tentang hubungan dengan lingkungan akan berpengaruh bagi lingkungan dan manusia itu sendiri. Kemampuan kita untuk menyadari hal tersebut akan menentukan bagaimana hubungan kita sebagai manusia dan lingkungan kita. Hal ini memerlukan pembiasaan diri yang dapat membuat kita menyadari hubungan manusia dengan lingkungan.

3.2  Saran
Manusia perlu mengambil kebijakan-kebijakan terhadap lingkungan sebagai usaha untuk memperoleh efisiensi pemanfaatan sumber alam dan lingkungan. Kita sebagai manusia wajib menyadari  bahwa kita saling terkait dengan lingkungan yang mengitari kita.
Kemampuan kita untuk menyadari hal tersebut akan menentukan bagaimana hubungan kita sebagai manusia dan lingkungan kita. Hal ini memerlukan pembiasaan diri yang dapat membuat kita menyadari hubungan manusia dengan lingkungan.
 


DAFTAR PUSTAKA

Nurcahyono, Arinto. 2009. Etika Lingkungan Hidup Sebagai Landasan Kebijakan Yang Berpihak Terhadap Kelestarian Lingkungan. http://artnur.wordpress.com/2009/11/12/etika-lingkungan-hidup-sebagai-landasan-kebijakan-yang-berpihak-terhadap-kelestarian-lingkungan/

Sonny, K. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta : Buku Kompas

Therik, Wilson M.A. 2008. Ekosentrisme. http://wilson-therik.blogspot.com/2008/11/ekosentrisme.html

2 komentar: